Sunday, June 29, 2008

Indonesia Infrastructure Report Q2 2008

Indonesia, South East Asia’s largest economy, is home to a vibrant construction industry and is witnessing increased investment flows into its infrastructure sector as the state strives to improve the statutory framework - making domestic infrastructure projects more attractive and bankable for investors.This report forecasts that the construction industry is likely to experience an average annual growth rate of 5.74% over the 2008-2012 forecast period.
There is a mix of small, medium and large companies operating in Indonesia’s construction industry.Some of the largest Indonesian firms are members of the Contractors’ Association (AKI). These are the players that are expected to undertake major government projects and compete with international construction companies, both in the domestic and international
markets.
In the current year, the central government has allocated nearly 20% of the overall budget expenditure to public infrastructure development. Moreover, with projects worth more than US$100bn in the pipeline,Indonesia’s domestic construction industry looks set to experience robust growth, in line with economic expansion. In a recent presidential address on the draft 2008 state budget, it was indicated that budgetary allocations to the transport and public works
departments will be increased significantly. It is estimated that in the period 2005-2010, the Indonesian infrastructure sector would require over US$150bn in funding, and a large part of this will have to be raised purely through foreign and domestic private investment.
However, Indonesia is plagued by a few negatives. Primary among these is its business operating environment - considered among the poorest in Asia. Investors often have to contend with security concerns and poor governance characterised by widespread corruption, lack of transparency, poor legal compliance and a highly inefficient tax regime.
Some players from nations such as Japan, South Korea and Taiwan are still wary of financing projects or investing directly in Indonesia. Costly labour is cited as one reason. Another problem that is encountered has to do with the credibility of Indonesian banks. With the lack of funding and limited big-project exposure, it is uncertain whether the nation’s own construction companies will be successful in capturing these lucrative market opportunities.
Banks are still cautious about extending credit to the construction industry. Aside from a shortage of funds, most Indonesian contractors still operate equipment purchased before the 1997 monetary crisis.Such equipment falls short of today’s requirements for speed and high-quality work.
That notwithstanding, BMI analysis indicates that on account of its vast untapped opportunities, the Indonesian construction industry value is expected to reach about US$38.76bn in 2008 and rise to US$44.4bn in 2012. Moreover, in BMI’s Infrastructure Business Environment Ratings for Asia,Indonesia manages a net score of 50. (Business Monitor International, 2008)

Tuesday, May 27, 2008

BUMN Konstruksi Masih Mendominasi

Indikator kesehatan perusahaan bisa dilihat dari rasio keuangan dan kesehatan perusahaan

SEJATINYA meski tidak kentara, persaingan industri jasa konstruksi bisa dikatakan kompetitif. Pemainnya pun beragam ada swasta seperti PT Total Bangun Persada, dan PT Bangun Tjipta serta BUMN seperti PT Adhi Karya Tbk, PT Wijaya Karya Tbk, PT Waskita Karya, PT Hutama Karya, PT Istaka Karya dan PT Nindya Karya.

Kendati perusahaan jasa konstruksi berstatus pelat merah lebih mendominasi, secara pencitraan, publik atau masyarakat lebih akrab dengan Total Bangun Persada maupun swasta lainnya.

Namun sesungguhnya kiprah BUMN relatif besar. Ini bisa disaksikan dari banyaknya gedung perkantoran mentereng, perumahan, apartemen khususnya di kota Jakarta yang dibangun oleh BUMN tersebut. Jumlahnya pun telah mencapai ratusan gedung, apartemen, hotel, dan bangunan lainnya.

Memang tidak semua perusahaan jasa konstruksi BUMN memiliki kinerja baik. Hanya beberapa saja yang terkenal seperti Adhi Karya, dan Wijaya Karya.

Lantas bagaimana dengan BUMN kosntruksi lainnya? PT Pembangunan Perumahan (PP), diakui banyak pihak sebagai yang terbaik untuk urusan bangun-membangun gedung atau properti sejenis. Wajar saja karena sejak didirikan tahun 1953 dia telah diposisikan sebagai kontraktor perumahan (housing) dan gedung tinggi.

Pengakuan atas kualitas produk yang dihasilkan bisa dilihat dari diraihnya sertifikat ISO 9001:2000. PP juga sekaligus menjadi perusahaan kontraktor pertama di Indonesia yang meraih sertifikasi tersebut pada bulan Juli 1994.

Selama berkiprah, PP sudah membangun ratusan gedung, apartemen, hotel di DKI Jakarta. Lebih dari itu, produk-produk bangunan tinggi yang dihasilkan oleh PP tersebar di berbagai kota di Indonesia.

Hingga kini PP masih lebih mengkhususkan diri pada pengerjaan bangunan ketimbang yang lain seperti jembatan, irigasi, dll. Ini bisa dilihat dari tipe pekerjaannya, tahun 2003, PP menyelesaikan 650 pekerjaan konstruksi bangunan dari total 994 pekerjaan, atau sekitar 65 persen. Untuk tahun 2004, PP menargetkan menyelesaikan 64,5 persen pekerjaan bangunan yang ditangani (675 pekerjaan bangunan berbanding total 1.044 pekerjaan).

Menurut Bambang Tri Wibowo, Direktur Operasi PP, pihaknya kini masuk peringkat tiga besar di antara sembilan BUMN konstruksi. Bahkan tahun 2006, PP dinobatkan sebagai BUMN terbaik. Prestasi ini bukan diraih dengan mudah. Untuk mencapai posisi ini, PP harus jatuh bangun.

Dia mencontohkan ketika memasuki krisis moneter tahun 1998, PP mengalami masa-masa teramat sulit. Ketika itu, perusahaan mengalami tiga cobaan sekaligus.

Pertama adalah tidak mendapatkan proyek, kedua proyek yang sudah ada tidak bisa berlanjut, karena tidak ada kas masuk. Di tengah kesulitan ini, PP tetap diwajibkan untuk bisa mengerjakan sesuai dengan kontrak. Sedangkan ketiga adalah melonjaknya harga barang-barang.

Dari sisi eksternal, permasalahan juga cukup pelik. Saat itu, para supplier berlomba-lomba untuk menagih utang. Bambang Triwibowo, yang saat ini menjabat sebagai Direktur Operasi PP, turut berjuang bersama perusahaan ini untuk melalui masa-masa paceklik.

Untuk menyelesaikan masalah itu, PP menggunakan berbagai cara. Langkah pertama yang dilakukan adalah menyelesaikan masalah internal. “Di cabang-cabang, kami mengajak karyawan untuk mengurangi gaji. Kami sendiri (Kepala Cabang) mengurangi gaji dan diikuti di bawahnya,” katanya ketika ditemui Jurnal Nasional di ruang kerjanya beberapa waktu lalu.

Bagaimana menyelesaikan masalah eksternal? Bambang mengaku menghindari supplier datang untuk menagih utang. “Saya sampaikan bahwa kami belum bisa bayar. Saya minta mereka menunggu dan saat kami bangkit lagi nanti,” kata dia menjelaskan.

Bagi supplier yang tidak percaya, ia menawarkan untuk menjual dengan sangat murah real estate dan tanah yang dimiliki PP.

Menurut dia, cara ini cukup efektif. Dengan demikian, PP memperoleh banyak keuntungan dari segi cash flow dan perumahan mereka juga laku terjual.

Sedangkan bagi pembeli yang bandel yang tidak mau membayar pada PP, dia mengadukan ke Kejaksaan Agung (Kejakgung). “Akhirnya kami selamat. Ada yang keluar dengan baik-baik dan kami beri jalan,” ujarnya.

Lebih lanjut dia mengatakan, saat ini, PP seperti sebuah pohon. “Pohon itu harus dirawat supaya sehat. Namun sehat saja belum cukup. Selain sehat, pohon juga harus tumbuh dengan baik, supaya berbuah.”

Indikator kesehatan dari perusahaan bisa dilihat dari rasio-rasio keuangan maupun rasio-rasio kesehatan perusahaan. Pemasaran, penjualan, pemasukan setelah pajak PP, saat ini tumbuh sekitar 18 persen per tahun. “Untuk mendukung ini semua, kami terus-menerus memikirkan strategi pengembangan sumber daya manusia. Karena tuntutan target perusahaan yang selalu naik dari tahun ke tahun. Padahal keadaan pasar tidak bisa dipastikan. Maka tidak bisa tidak, perusahaan harus memikirkan langkah-langkah pengembangan, supaya ada sumber-sumber pemasukan lain, bila usaha jasa kosntruksi sudah di posisi maksimal,” ucapnya.

Karena itu PP membuat usaha baru, yang berupa investasi jalan Tol bersama PT Citra Marga Nusaphala Persada TBK (CMNP), PT Waskita Karya, dan PT Hutama Karya, untuk ruas Tol Depok - Antasari. Selain itu, PP juga berusaha dengan anak-anak perusahaan yg lain. Misalnya dengan PT Mitra Pola Sarana untuk penyewaan gedung. Juga usaha-usaha di bidang developer, dengan melihat semua aspek secara hati-hati. “Namun, bila kita melihat angka-angka APBN yang selalu naik nilainya. Belum lagi infrastruktur yang mendapat prioritas tinggi, maka kami melihat bisnis jasa konstruksi nasional masih sangat menjanjikan,” kata pria yang hobi nonton teater ini.

Setelah PP, nama yang sering menjadi langganan developer adalah PT Wijaya Karya (Wika). Berdiri tahun 1960, buah karya (masterpiece) dari Wika bisa dijumpai di Jakarta berupa gedung perkantoran, apartemen, kondominium, mal, dll. Meski begitu PT Wika lebih banyak dikenal sebagai kontraktor jalan tol dan jembatan.

Tidak bisa dilupakan nama-nama lain yang cukup dikenal dalam pengerjaan konstruksi khususnya property yakni PT Nindya Karya dan PT Hutama Karya.

Mantan Menteri Perumahan Siswono Yudohusodo menilai kiprah BUMN konstruksi tersebut relatif cukup besar kontribusinya untuk perkembangan sektor properti khususnya. Namun, ke depan peran tersebut perlu diperbesar lagi (Wahyu Utomo, Journal Nasional, 2008)

Thursday, May 15, 2008

POLL: Permasalahan Binis Konstruksi Indonesia

Dari anasir-anasir berikut, yang mana saja yang merupakan masalah dalam berkegiatan di sektor usaha/bisnis jasa konstruksi di Indonesia? (Diolah dari LPJK 2007: Konstruksi Indonesia, Editor: Dr. A. Suraji)


Tuesday, April 22, 2008

Para pengusaha jasa konstruksi tersenyum lebar

Para pengusaha jasa konstruksi tersenyum lebar. Mulai awal tahun 2008, bila semua berjalan sesuai rencana, mereka kembali menikmati tarif pajak penghasilan final seperti pernah mereka nikmati 1997. Bagi mereka, pengenaan pajak final selain memudahkan administrasi juga memberikan kepastian lebih tinggi.

Demikian pula bagi Ditjen Pajak. Setali tiga uang. Tenaga pemeriksa Ditjen Pajak memang sangat terbatas. Sistem final akan menghemat tenaga pemeriksa. Namun di atas itu, Ditjen Pajak yakin sistem final akan mampu mendongkrak penerimaan.

Seperti diketahui, PPh final mulai marak sejak 1995, menyusul diberlakukannya UU Pajak Penghasilan 1994. Dalam Pasal 4 ayat 2, pemerintah diberi wewenang yang sangat luas, ada yang menyebutnya sebagai cek kosong, untuk mengenakan pajak final atas berbagai macam jenis penghasilan.

Saking banyaknya jenis penghasilan yang dikenakan secara final, pada era Fuad Bawazier menjabat sebagai dirjen pajak, yang bersangkutan sering dijuluki sebagai "Bapak PPh final". Sampai sekarang, Fuad masih tetap yakin PPh final paling cocok untuk kondisi bisnis di Indonesia.

Usulan PPh final untuk jasa konstruksi mengemuka saat asosiasi mereka (Gapeksi-Gabungan Pelaksana Konstruksi Seluruh Indonesia) mengadakan kongres di Surabaya. Fuad yang hadir pada acara itu langsung ditodong untuk memberlakukan PPh final bagi pengusaha sektor konstruksi.

Hasilnya? Pada akhir Desember 1996, terbit Peraturan Pemerintah No. 73/1996 tentang PPh atas penghasilan dari usaha jasa konstruksi dan jasa konsultan. Dalam PP tersebut ditetapkan atas imbalan jasa pelaksana konstruksi dikenakan PPh final 2% dari nilai bruto, sedangkan jasa perencanaan, pengawasan konstruksi dan konsultan dikenakan 4%.

Pengenaan PPh final sektor konstruksi, menurut PP 73/1996, dimaksudkan untuk memberikan kemudahan dan kepastian hukum serta meningkatkan kepatuhan wajib pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya. Namun, fakta yang sebenarnya, Ditjen Pajak sendiri pusing setiap kali memeriksa pembukuan perusahaan konstruksi. Selain pembukuannya kacau balau, Ditjen Pajak juga tidak menutup mata hampir semua pengusaha konstruksi tidak bisa bergerak tanpa uang pelicin.

Dicabut 2001

Bagi wajib pajak, PPh final sangat menguntungkan pada saat ekonomi tumbuh bagus. Sebab pada kondisi demikian, mereka umumnya mampu meraup laba besar. Pengenaan PPh final-yang sifatnya flat terhadap penghasilan bruto-jauh lebih menguntungkan dibandingkan dengan tarif progresif 10%, 15% dan 30% sebagaimana diatur dalam Pasal 17 UU PPh.

Sebaliknya, tarif PPh final menjadi bumerang bagi wajib pajak pada saat ekonomi menurun atau pada saat mereka menderita rugi. Sebab, pengenaan PPh final dikenakan terhadap penghasilan bruto, bukan penghasilan neto. Lebih parah lagi, mereka juga kehilangan hak mengompensasi kerugian yang dialami.

Inilah salah satu alasan yang mereka usung untuk meminta kembali pemberlakuan tarif umum pada tahun 2000. Pertarungan politik antara Presiden Abdurrachman Wahid dan DPR menjadi penyebab mengapa pembangunan insfrastruktur berhenti total. Apalagi menjelang Memorandum I dan Memorandum II yang dikeluarkan DPR, suasana politik demikian panas. Sidang Istimewa MPR pun berlangsung.

Saat itu, kalau kita ingat, pembangunan infrastruktur di Indonesia boleh dikatakan lesu darah. Sebagian besar anggota Gapeksi gulung tikar atau mati suri. Namun, saat menerima order kecil-kecilan, pajak langsung berdiri di depan pintu.

Kembali ke tarif umum adalah harga mati, jika mereka tidak ingin benar-benar mati. Atas dasar itu, pemerintah menerbitkan PP No. 140/2000. Melalui PP ini, penghasilan yang diterima perusahaan jasa konstruksi, pengawas, perencanaan dan konsultan kembali ke tarif umum, kecuali mereka yang omzetnya di bawah Rp1 miliar.

Tarif untuk perusahaan skala kecil ini sama dengan PP 73/1996, yaitu 2% untuk jasa pelaksana konstruksi dan 4% untuk jasa perencana konstruksi dan jasa pengawas konstruksi. Namun, jasa konsultan hilang dari PP 140/2000.

Ke depan 3%

Dirjen Pajak Darmin Nasution memberi sinyal akan memberlakukan tarif PPh final sebagaimana diatur dalam PP No. 73/1996. Artinya, PPh final tidak terbatas pada usaha kecil tapi untuk seluruh level usaha.

Yang berbeda kemungkinan besar adalah tarifnya. Dalam perbincangan dengan Darmin beberapa pekan lalu, dia menginginkan tarif PPh final untuk pelaksana jasa konstruksi naik menjadi 3%, bukan 2% sebagaimana yang berlaku dulu.

Angka ini, bagi perusahaan konstruksi skala besar, sebenarnya masih menguntungkan. Sebab, berdasarkan kalkulasi Ditjen Pajak, dengan memerhatikan rata-rata profit margin mereka maka tarif PPh final seharusnya 4,5%. Namun, tidak semua perusahaan mampu menikmati profit margin sebesar itu. Ada pula perusahaan jasa konstruksi yang profit marginnya sangat rendah. Artinya tarif 3% adalah angka kompromi.

Namun, konsekuensi dari kompromi tersebut, perusahaan yang efisien oleh sebab itu rasio labanya tinggi akan mendapat keuntungan dari tarif pajak final.

Hal lain yang perlu diperhatikan, bagi perusahaan jasa konstruksi yang tahun ini masih menderita rugi, bisa dipastikan tidak akan diizinkan melakukan kompensasi rugi fiskal jika PPh final benar-benar dijalankan.

Pemilik proyek juga perlu mewaspadai "siasat' perusahaan jasa konstruksi yang biasanya akan mengalihkan beban PPh final ke konsumen. Caranya adalah dengan memasukkan komponen pajak tersebut ke dalam nilai borongan proyek. Sehingga PPh yang naturalnya adalah pajak langsung bisa berubah wujud menjadi pajak tidak langsung.

Di atas masalah-masalah teknis tersebut, Ditjen Pajak juga perlu instropeksi diri. Semangat menegakkan keadilan yaitu membebankan pajak sesuai kemampuan wajib pajak, seperti diamanatkan UU Perpajakan, hanya lebih terakomodasi dalam sistem pajak progresif. Di lihat dari sisi itu, rencana pe-ngenaan PPh final untuk jasa konstruksi adalah langkah mundur.

Satu-satunya pembenaran penerapan sistem PPh final yang harus menjadi pegangan Ditjen Pajak adalah jaminan bahwa penerimaan pajak dari sektor ini meningkat dibandingkan dengan saat dikenakan tarif umum. Jika ada jaminan itu, simpan saja prinsip keadilan di laci. Yang penting, jangan melanggar UU. (parwito@bisnis.co.id/Lupakan keadilan dalam sistem PPh final
Bisnis-Indonesia/2007)